Minggu, 24 Mei 2009

PROFIL CAPRES DAN CAWAPRES 2009 (Bagian 1 : SBY BerBoedi)

Profil : Susilo Bambang Yudhoyono
Ia lahir di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur pada 9 September 1949 dari anak pasangan Raden Soekotjo dan Siti Habibah. Dari ayahnya, silsilahnya dapat dilacak hingga Pangeran Buwono Keling dari Kerajaan Majapahit dengan RM. Kustilah yang merupakan keturunan Gusti Bandoro Ayu (putri Sri Sultan Hamengkubuwono III.
Seperti ayahnya; Viditaris Sasongko, ia pun berkecimpung di dunia kemiliteran. Selain tinggal di kediaman keluarga di Bogor (Jawa Barat), SBY juga tinggal di Istana Merdeka, Jakarta. Susilo Bambang Yudhoyono menikah dengan Kristiani Herawati yang adalah anak perempuan ketiga Jenderal (Purnawirawan) Sarwo Edhi Wibowo (alm). Komandan militer Jenderal Sarwo Edhi Wibowo turut membantu menumpas PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1965. Dari pernikahan mereka lahir dua anak lelaki, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (lahir 1979) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (lahir 1982).
Agus adalah lulusan dari SMA Taruna Nusantara tahun 1997 dan Akademi Militer Indonesia tahun 2000. Seperti ayahnya, ia juga mendapatkan penghargaan Adhi Mekayasa dan seorang prajurit dengan pangkat Letnan Satu TNI Angkatan Darat yang bertugas di sebuah batalion infantri di Bandung, Jawa Barat. Agus menikahi Anissa Larasati Pohan, seorang aktris yang juga anak dari mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia. Sejak pertengahan 2005, Agus menjalani pendidikan untuk gelar master-nya di Strategic Studies at Institute of Defense and Strategic Studies, Singapura. Anak yang bungsu, Edhie Baskoro lulus dengan gelar ganda dalam Financial Commerce dan Electrical Commerce tahun 2005 dari Curtin University of Technology di Perth, Australia Barat.

Pendidikan
Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973
American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
Jungle Warfare School, Panama, 1983
Kursus Senjata Antitank di Belgia dan Jerman, 1984
Kursus Komando Batalyon, 1985
Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Kansas, AS
Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS
Doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2004.

Karier militer
Tahun 1973, ia lulus dari Akademi Militer Indonesia (Akabri: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan penghargaan Adhi Makayasa sebagai murid lulusan terbaik dan Tri Sakti Wiratama yang merupakan prestasi tertinggi gabungan mental, fisik, dan intelek. Periode 1974-1976, ia memulai karier di Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad. Pada tahun 1976, ia belajar di Airborne School dan US Army Rangers, American Language Course (Lackland-Texas), Airbone and Ranger Course (Fort Benning) Amerika Serikat.
Kariernya berlanjut pada periode 1976-1977 di Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad, Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977), Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978, Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981, Paban Muda Sops SUAD (1981-1982. Periode 1982-1984, ia belajar di Infantry Officer Advanced Course (Fort Benning) Amerika Serikat.
Tahun 1983, ia belajar pada On the job training in 82-nd Airbone Division (Fort Bragg) Amerika Serikat, Jungle Warfare School (Panama, Kursus Senjata Antitank di Belgia dan Jerman pada tahun 1984, Kursus Komando Batalyon (1985) dan meniti karier di Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985), Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988), dan Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988).
Periode 1988-1989, ia Sekolah Komando Angkatan Darat dan belajar di US Command and General Staff College pada tahun 1991. Periode (1989-1993), ia bekerja sebagai Dosen Seskoad Korspri Pangab, Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994, Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995) serta Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (1995-1996). Pada tahun 1997, ia diangkat sebagai Kepala Angkatan Bersenjata dan Staf Urusan Sosial dan Politik. Ia pensiun dari kemiliteran pada 1 April 2001 oleh karena pengangkatannya sebagai menteri.
Lulusan Command and General Staff College (Fort Leavenwort) Kansas Amerika Serikat dan Master of Art (MA) dari Management Webster University Missouri ini juga meniti karier di Kasdam Jaya (1996), dan Pangdam II/Sriwijaya sekaligus Ketua Bakorstanasda. Karier militernya terhenti sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI) dengan pangkat Jenderal.

Karier politik
Tampil sebagai juru bicara Fraksi ABRI menjelang Sidang Umum MPR 1998 yang dilaksanakan pada 9 Maret 1998 dan Ketua Fraksi ABRI MPR dalam Sidang Istimewa MPR 1998. Pada 29 Oktober 1999, ia diangkat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi di pemerintahan pimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Setahun kemudian, tepatnya 26 Oktober 1999, ia dilantik sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) sebagai konsekuensi penyusunan kembali kabinet Abdurrahman Wahid.
Dengan keluarnya Maklumat Presiden pada 28 Mei 2001 pukul 12.00 WIB, Menko Polsoskam ditugaskan untuk mengambil langkah-langkah khusus mengatasi krisis, menegakkan ketertiban, keamanan, dan hukum secepat-cepatnya lantaran situasi politik darurat yang dihadapi pimpinan pemerintahan. Saat itu, Menko Polsoskam sebagai pemegang mandat menerjemahkan situasi politik darurat tidak sama dengan keadaan darurat sebagaimana yang ada dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1959.
Belum genap satu tahun menjabat Menko Polsoskam atau lima hari setelah memegang mandat, ia didesak mundur pada 1 Juni 2001 oleh pemberi mandat karena ketegangan politik antara Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR. Jabatan pengganti sebagai Menteri Dalam Negeri atau Menteri Perhubungan yang ditawarkan presiden tidak pernah diterimanya.
Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri melantiknya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) pada 10 Agustus 2001. Merasa tidak dipercaya lagi oleh presiden, jabatan Menko Polkam ditinggalkannya pada 11 Maret 2004. Berdirinya Partai Demokrat pada 9 September 2002 menguatkan namanya untuk mencapai kerier politik puncak. Ketika Partai Demokrat dideklarasikan pada 17 Oktober 2002, namanya dicalonkan menjadi presiden dalam pemilu presiden 2004.
Setelah mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam dan sejalan dengan masa kampanye pemilu legislatif 2004, ia secara resmi berada dalam koridor Partai Demokrat. Keberadaannya dalam Partai Demokrat menuai sukses dalam pemilu legislatif dengan meraih 7,45 persen suara. Pada 10 Mei 2004, tiga partai politik yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, dan Partai Bulan Bintang secara resmi mencalonkannya sebagai presiden dan berpasangan dengan kandidat wakil presiden Jusuf Kalla.

Ringkasan karir
Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976)
Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad (1976-1977)
Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981)
Paban Muda Sops SUAD (1981-1982)
Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988)
Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988)
Dosen Seskoad (1989-1992)
Korspri Pangab (1993)
Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994)
Asops Kodam Jaya (1994-1995)
Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995)
Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (sejak awal November 1995)
Kasdam Jaya (1996-hanya lima bulan)
Pangdam II/Sriwijaya (1996-) sekaligus Ketua Bakorstanasda
Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI (1998-1999)
Mentamben (sejak 26 Oktober 1999)
Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid)
Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri) mengundurkan diri 11 Maret 2004
Presiden Republik Indonesia (2004-Sedang Menjabat)

Penghargaan
Tri Sakti Wiratama (Prestasi Tertinggi Gabungan Mental Fisik, dan Intelek), 1973
Adhi Makayasa (lulusan terbaik Akabri 1973)
Satya Lencana Seroja, 1976
Honor Graduate IOAC, USA, 1983
Satya Lencana Dwija Sista, 1985
Lulusan terbaik Seskoad Susreg XXVI, 1989
Dosen Terbaik Seskoad, 1989
Satya Lencana Santi Dharma, 1996
Satya Lencana United Nations Peacekeeping Force (UNPF), 1996
Satya Lencana United Nations Transitional Authority in Eastern Slavonia, Baranja, and Western Sirmium (UNTAES), 1996
Bintang Kartika Eka Paksi Nararya, 1998
Bintang Yudha Dharma Nararya, 1998
Wing Penerbang TNI-AU, 1998
Wing Kapal Selam TNI-AL, 1998
Bintang Kartika Eka Paksi Pratama, 1999
Bintang Yudha Dharma Pratama, 1999
Bintang Dharma, 1999
Bintang Maha Putera Utama, 1999
Tokoh Berbahasa Lisan Terbaik, 2003
Bintang Asia (Star of Asia), 2005, oleh BusinessWeek
Bintang Kehormatan Darjah Kerabat Laila Utama, 2006, oleh Sultan Brunei
Doktor Honoris Causa, 2006, oleh Universitas Keio
Darjah Utama Seri Mahkota, 2008, oleh Yang DiPertuan Agong Tuanku Mizan Zainal Abidin
100 tokoh Berpengaruh Dunia kategori Pemimpin & Revolusioner Majalah TIME, 2009, oleh TIME
Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah dicalonkan untuk menjadi penerima penghargaan Nobel perdamaian 2006 bersama dengan Gerakan Aceh Merdeka dan Martti Ahtisaari atas inisiatif mereka untuk perdamaian di Aceh.

Profil : Boediono
Prof.Dr. Boediono,M.Ec. (lahir di Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943; umur 66 tahun) lebih dikenal dengan sebutan The man to get the job done, adalah Gubernur Bank Indonesia sekarang ini. Sebelumnya Boediono menjabat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada Kabinet Indonesia Bersatu. Boediono juga pernah menjabat Menteri Keuangan Indonesia dalam Kabinet Gotong Royong (2001–2004). Sebelumnya pada Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), Boediono adalah Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Bank Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto. Saat ini ia juga mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, di universitas ini pula ia diangkat sebagai Guru Besar.

Keluarga
Boediono beristrikan Herawati dan memiliki dua anak, Ratriana Ekarini dan Dios Kurniawan.
Pendidikan dan Penghargaan
Ia memperoleh gelar Bachelor of Economics (Hons.) dari Universitas Western Australia pada tahun 1967. Lima tahun kemudian, gelar Master of Economics diperoleh dari Universitas Monash. Kemudian pada tahun 1979, ia mendapatkan gelar S3 (Ph.D.) dalam bidang ekonomi dari Wharton School, Universitas Pennsylvania.
Ia mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana tahun 1999 dan “Distinguished International Alumnus Award” dari University of Western Australia pada tahun 2007.
Boediono pertama kali diangkat menjadi menteri pada tahun 1998 dalam Kabinet Reformasi Pembangunan sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Setahun kemudian, ketika terjadi peralihan kabinet dan kepemimpinan dari Presiden BJ Habibie ke Abdurrahman Wahid, ia digantikan oleh Kwik Kian Gie.
Ia kembali diangkat sebagai Menteri Keuangan pada tahun 2001 dalam Kabinet Gotong Royong menggantikan Rizal Ramli. Sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Gotong Royong, ia membawa Indonesia lepas dari bantuan Dana Moneter Internasional dan mengakhiri kerja sama dengan lembaga tersebut. Oleh BusinessWeek, ia dipandang sebagai salah seorang menteri yang paling berprestasi dalam kabinet tersebut. Di kabinet tersebut, ia bersama Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dijuluki ‘The Dream Team’ karena mereka dinilai berhasil menguatkan stabilitas makroekonomi Indonesia yang belum sepenuhnya pulih dari Krisis Moneter 1998. Ia juga berhasil menstabilkan kurs rupiah di angka kisaran Rp 9.000 per dolar AS.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, banyak orang yang mengira bahwa Boediono akan dipertahankan dalam jabatannya, namun posisinya ternyata ditempati Jusuf Anwar. Menurut laporan, Boediono sebenarnya telah diminta oleh Presiden Yudhoyono untuk bertahan, namun ia memilih untuk beristirahat dan kembali mengajar. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perombakan (reshuffle) kabinet pada 5 Desember 2005, Boediono diangkat menggantikan Aburizal Bakrie menjadi Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Indikasi Boediono akan menggantikan Aburizal Bakrie direspon sangat positif oleh pasar sejak hari sebelumnya dengan menguatnya IHSG serta mata uang rupiah. Kurs rupiah menguat hingga dibawah Rp 10.000 per dolar AS. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEJ juga ditutup menguat hingga 23,046 poin (naik sekitar 2 persen) dan berada di posisi 1.119,417, berhasil menembus level 1.100. Ini karena Boediono dinilai mampu mengelola makro-ekonomi yang kala itu belum didukung pemulihan sektor riil dan moneter.
Pada tanggal 9 April 2008, DPR mengesahkan Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia, menggantikan Burhanuddin Abdullah. Ia merupakan calon tunggal yang diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pengangkatannya didukung oleh Burhanuddin Abdullah, Menkeu Sri Mulyani, Kamar Dagang Industri atau Kadin, serta seluruh anggota DPR kecuali fraksi PDIP.

PROFIL CAPRES DAN CAWAPRES 2009 (Bagian 2 : JK WIN)

Profil : Jusuf Kalla
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla (lahir di Watampone, Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942; umur 67 tahun), atau sering ditulis Jusuf Kalla saja atau JK, adalah wakil presiden Indonesia saat ini dan Ketua Umum Partai Golkar.

Awal kehidupan dan karier
Jusuf Kalla lahir di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan pada tanggal 15 Mei 1942) sebagai anak ke-2 dari 17 bersaudara dari pasangan Haji Kalla dan Athirah, pengusaha keturunan Bugis yang memiliki bendera usaha Kalla Group. Bisnis keluarga Kalla tersebut meliputi beberapa kelompok perusahaan di berbagai bidang industri. Tahun 1968, Jusuf Kalla menjadi CEO dari NV Hadji Kalla. Di bawah kepemimpinannya, NV Hadji Kalla berkembang dari sekedar bisnis ekspor-impor, meluas ke bidang-bidang perhotelan, konstruksi, pejualan kendaraan, perkapalan, real estate, transportasi, peternakan udang, kelapa sawit, dan telekomunikasi. Di Makassar, Jusuf Kalla dikenal akrab disapa oleh masyarakat dengan panggilan Daeng Ucu.
Pengalaman organisasi kemahasiswaan Jusuf Kalla antara lain adalah Ketua HMI Cabang Makassar tahun 1965-1966, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UNHAS) 1965-1966, serta Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tahun 1967-1969. Sebelum terjun ke politik, Jusuf Kalla pernah menjabat sebagai Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Sulawesi Selatan. Hingga kini, ia pun masih menjabat Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) di alamamaternya Universitas Hasanuddin, setelah terpilih kembali pada musyawarah September 2006.
Jusuf Kalla menjabat sebagai menteri di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Presiden RI yang ke-4), tetapi diberhentikan dengan tuduhan terlibat KKN. Jusuf Kalla kembali diangkat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri (Presiden RI yang ke-5). Jusuf Kalla kemudian mengundurkan diri sebagai menteri karena maju sebagai calon wakil presiden, mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dengan kemenangan yang diraih oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI yang ke-6, secara otomatis Jusuf Kalla juga berhasil meraih jabatan sebagai Wakil Presiden RI yang ke-10. Bersama-sama dengan Susilo Bambang Yudhoyono, keduanya menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI yang pertama kali dipilih secara langsung oleh rakyat.
Ia menjabat sebagai ketua umum Partai Golongan Karya menggantikan Akbar Tanjung sejak Desember 2004. Pada 10 Januari 2007, ia melantik 185 pengurus Badan Penelitian dan Pengembangan Kekaryaan Partai Golkar di Kantor DPP Partai Golongan Karya di Slipi, Jakarta Barat, yang mayoritas anggotanya adalah cendekiawan, pejabat publik, pegawai negeri sipil, pensiunan jenderal, dan pengamat politik yang kebanyakan bergelar master, doktor, dan profesor.
H.M. Jusuf Kalla menikah dengan Hj. Mufidah Jusuf, dan dikaruniai seorang putra dan empat putri, serta sembilan orang cucu.

Pendidikan
Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (1967)
The European Institute of Business Administration, Perancis (1977)

Profil : Wiranto
Wiranto lahir pada 4 April 1947 di Solo, dan adalah seorang tokoh militer dan politikus Indonesia.

Karir Militer
Namanya melejit setelah menjadi ADC Presiden Suharto tahun 1987-1991. Setelah sebagai ajudan presiden, karir militer Wiranto semakin menanjak ketika tampil sebagai Kasdam Jaya, Pangdam Jaya, Pangkostrad, dan KSAD.
Selepas KSAD, ia ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Pangab (sekarang Panglima TNI) pada Maret 1998. Pada masa itu terjadi pergantian pucuk kepemimpinan nasional. Posisinya yang sangat strategis menempatkannya sebagai salah satu pemain kunci bersama Wakil Presiden B.J. Habibie. Ia tetap dipertahankan sebagai Pangab di era Presiden Habibie.

Karir Sipil
Kariernya tetap bersinar setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tampil sebagai presiden keempat Indonesia. Ia dipercaya sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, meskipun kemudian dinonaktifkan dan mengundurkan diri. Pada 26 Agustus 2003, ia meluncurkan buku otobiografi dengan judul Bersaksi di Tengah Badai.
Setelah memenangi konvensi Partai Golkar atas Ketua Umum Partai Golkar Ir. Akbar Tandjung, ia melaju sebagai kandidat presiden pada 2004. Bersama pasangan kandidat wakil presiden Salahuddin Wahid, langkahnya terganjal pada babak pertama karena menempati urutan ketiga dalam pemilihan umum presiden 2004.

PROFIL CAPRES DAN CAWAPRES 2009 (Bagian 3 : MegaPro)

Profil : Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri
Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri (lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947; umur 62 tahun) adalah Presiden Indonesia dari 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004. Ia merupakan presiden wanita pertama dan presiden kelima di Indonesia.
Namanya cukup dikenal dengan Megawati Soekarnoputri. Pada 20 September 2004, ia kalah dalam tahap kedua pemilu presiden 2004. Ia menjadi presiden setelah MPR mengadakan Sidang Istimewa pada tahun 2001. Sidang Istimewa MPR diadakan dalam menanggapi langkah Presiden Abdurrahman Wahid yang membekukan lembaga MPR/DPR dan Partai Golkar. Ia dilantik pada 23 Juli 2001. Sebelumnya dari tahun 1999-2001, ia adalah Wakil Presiden.
Megawati adalah anak kedua Presiden Soekarno yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ibunya Fatmawati kelahiran Bengkulu di mana Sukarno dahulu diasingkan pada masa penjajahan belanda. Megawati dibesarkan dalam suasana kemewahan di Istana Merdeka.
Dia pernah menuntut ilmu di Universitas Padjadjaran di Bandung (tidak sampai lulus) dalam bidang pertanian, selain juga pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (tetapi tidak sampai lulus).
Karir politik Mega yang penuh liku seakan sejalan dengan garis kehidupan rumah tangganya yang pernah mengalami kegagalan. Suami pertamanya, seorang pilot AURI, tewas dalam kecelakaan pesawat di laut sekitar Biak, Irian Jaya. Waktu itu usia Mega masih awal dua puluhan dengan dua anak yang masih kecil. Namun, ia menjalin kasih kembali dengan seorang pria asal Mesir, tetapi pernikahannya tak berlangsung lama. Kebahagiaan dan kedamaian hidup rumah tangganya baru dirasakan setelah ia menikah dengan Moh. Taufiq Kiemas, rekannya sesama aktivis di GMNI dulu, yang juga menjadi salah seorang penggerak PDIP.

Karir Politik
Jejak politik sang ayah berpengaruh kuat pada Megawati. Karena sejak mahasiswa, saat kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran, ia pun aktif di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia).
1986
Tahun 1986 ia mulai masuk ke dunia politik, sebagai wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat. Karir politiknya terbilang melesat. Mega hanya butuh waktu satu tahun menjadi anggota DPR RI.
1993
Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.
1996
Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.
Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara.
Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.
1997
Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997. Perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah “Mega Bintang”. Mega sendiri memilih golput saat itu.
1999
Pemilu 1999, PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil memenangkan pemilu. Meski bukan menang telak, tetapi ia berhasil meraih lebih dari tiga puluh persen suara. Massa pendukungnya, memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.
Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain: memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam voting pemilihan Presiden: 373 banding 313 suara.
2001
Namun, waktu juga yang berpihak kepada Megawati Sukarnoputri. Ia tidak harus menunggu lima tahun untuk menggantikan posisi Presiden Abdurrahman Wahid, setelah Sidang Umum 1999 menggagalkannya menjadi Presiden. Sidang Istimewa MPR, Senin (23/7/2001), telah menaikkan statusnya menjadi Presiden, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut mandatnya oleh MPR RI.
2004
Masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% – 60%) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.

Perjalanan Karir
Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (Bandung), (1965)
Anggota DPR-RI, (1993)
Anggota Fraksi DPI Komisi IV
Ketua DPC PDI Jakarta Pusat, Anggota FPDI DPR-RI, (1987-1997)
Ketua Umum PDI versi
Munas Kemang (1993-sekarang) PDI yang dipimpinnya berganti nama menjadi PDI Perjuangan pada 1999-sekarang
Wakil Presiden Republik Indonesia, (Oktober 1999-23 Juli 2001)
Presiden Republik Indonesia ke-5, (23 Juli 2001-2004)

Pendidikan
SD Perguruan Cikini Jakarta, (1954-1959)
SLTP Perguruan Cikini Jakarta, (1960-1962)
SLTA Perguruan Cikini Jakarta, (1963-1965)
Fakultas Pertanian UNPAD Bandung (1965-1967), (tidak selesai)
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972), (tidak selesai)

Profil : Prabowo Subianto
Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto Djojohadikusumo (lahir di Jakarta, 17 Oktober 1951; umur 57 tahun) adalah mantan Danjen Kopassus dan menantu dari mantan Presiden Indonesia Soeharto. Prabowo adalah calon presiden dalam pemilu presiden Republik Indonesia 2009 dari Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA).Anak dari begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo, ini menikah dengan Titiek Prabowo, anak Presiden Soeharto, akan tetapi bercerai setelah dicopot jabatannya oleh Presiden Habibie melalui mantan Pangab Wiranto karena keterlibatan oknum Kopassus dalam kasus penculikan sejumlah aktivis LSM dan pelanggaran HAM.

Kontroversi dan Dugaan Pelanggaran HAM
Prabowo termasuk tokoh kontroversial di Indonesia.
Pada tahun 1983, kala itu masih berpangkat Kapten, Prabowo diduga pernah mencoba melakukan upaya penculikan sejumlah petinggi militer, termasuk Jendral LB Moerdani, namun upaya ini digagalkan oleh Mayor Luhut Panjaitan, Komandan Den 81/Antiteror. Prabowo sendiri adalah wakil Luhut saat itu.
Pada tahun 1997, Prabowo diduga kuat mendalangi penculikan dan penghilangan paksa terhadap sejumlah aktivis, terutama aktivis PRD. Setidaknya 14 orang, termasuk seniman Widji Thukul, masih hilang dan belum ditemukan hingga sekarang. Prabowo sendiri mengakui memerintahkan Tim Mawar untuk mengeksekusi operasi tersebut. Namun demikian, Prabowo belum diadili atas kasus tersebut hingga sekarang walau anggota Tim Mawar sudah dijebloskan ke penjara. Para korban dan keluarga korban juga sama sekali belum memaafkannya dan masih terus melanjutkan upaya hukum. Sebagian berupaya menuntut keadilan dengan mengadakan aksi ‘diam hitam kamisan’ setiap hari Kamis. Prabowo dan koleganya, Sjafrie Syamsuddin, juga tidak pernah memenuhi Panggilan Komnas HAM yang berusaha untuk mengusut kasus tersebut.
Di samping itu, Prabowo juga diduga kuat mendalangi kerusuhan Mei 1998 berdasar temuan Tim Gabungan Pencari Fakta. Dugaan motifnya adalah mendiskreditkan rivalnya Pangab Wiranto, untuk menyerang etnis minoritas, dan untuk mendapat simpati dan wewenang lebih dari Soeharto bila kelak ia mampu memadamkan Kerusuhan, yang mana ternyata ia gagal. Dia juga masih belum diadili atas kasus tersebut.
Juga pada Mei 1998, menurut kesaksian Presiden Habibie dan purnawirawan Sintong Panjaitan, Prabowo melakukan insubordinasi dan berupaya menggerakkan tentara ke Jakarta dan sekitar kediaman Habibie untuk kudeta. Karena insubordinasi tersebut ia diberhentikan dari posisinya sebagai Kostrad oleh Wiranto atas instruksi Habibie. Terkait masa-masa tersebut, Prabowo kemudian hari juga berpolemik dengan purnawirawan Jendral Wiranto.
Setelah Mei 1998, untuk menghindari tekanan dari Habibie terkait insubordinasi tersebut dan menghindari pengusutan hukum terkait kerusuhan Mei dan penculikan para aktivis, ia melarikan diri ke Yordania. Di sana ia mendapat suaka dan bahkan tawaran status kewarganegaraan dari Raja Hussein dan putranya yang merupakan kawan Prabowo di sekolah militer.
Di masa sekarang, partai yang menjadi mesin politiknya, Partai Gerindra, juga tak lepas dari kontroversi, di mana Wakil Ketua Umum partai tersebut, Muchdi PR juga pernah ditangkap karena diduga terlibat dalam pembunuhan aktivis HAM Munir.

Karir Politik
Setelah meninggalkan karir militernya ia menjadi pengusaha mengikuti karir adiknya Hashim Djojohadikusumo dan juga mencalonkan diri sebagai calon presiden dari Partai Golkar pada Konvesi Capres Golkar 2004, tetapi kalah suara oleh Wiranto. Tanggal 5 Desember 2004 dia terpilih sebagai ketua umum HKTI mengalahkan Setiawan Jodi dan Ja’far Hafsah.Pada bulan Mei 2008 Prabowo gencar tampil di televisi dalam bentuk iklan layanan masyarakat yang disponsori oleh HKTI, sebuah kelompok tani Indonesia yang digunakannya sebagai mesin politik untuk Pilpres 2009, sebagai ketua umum organisasi tersebut dengan pesan untuk menggunakan produk dalam negeri. Pada 9 Mei 2008 Partai Gerindra menyatakan keinginannya untuk mencalonkan Prabowo menjadi calon presiden pada Pemilu 2009 saat mereka menyerahkan berkas pendaftaran untuk ikut Pemilu 2009 pada KPU.
Seiring dengan perolehan suara Partai Gerindra pada pemilu legislatif yang tidak cukup untuk mengajukan sendiri capresnya, maka melalui negosiasi yang alot dengan PDIP, Prabowo menerima pinangan Megawati untuk menjadi cawapres.

Selasa, 12 Mei 2009

MESIN POLITIK BESAR

JAKARTA - Koalisi partai untuk seorang calon presiden diperlukan, mengingat kecilnya peluang seorang calon presiden dari sebuah partai mendapat suara mutlak dalam pemilu nanti. Koalisi membantu mengurangi ketidakpastian siapa yang akan menang dalam pemilihan presiden nanti. Koalisi ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa dukungan terhadap partai politik sering terkait erat dengan dukungan terhadap calon presiden dari partai bersangkutan. Apalagi, dalam sistem pemilihan presiden kita, seseorang dicalonkan untuk jabatan presiden oleh partai politik. Partai politik setidaknya membantu mengurangi tingkat kesulitan memperkirakan perilaku pemilih terhadap calon-calon presiden yang akan bersaing nanti.
Di samping itu, partai politik adalah mesin politik yang punya daya mobilisasi massa paling sistematis. Karena itu, koalisi antarpartai politik diharapkan berperan sebagai mesin politik besar untuk memobilisasi massa pemilih presiden yang dicalonkan. Tidak ada organisasi sosial-politik yang punya kemampuan mobilisasi massa secara nasional sebesar partai politik.
Sebuah koalisi partai dimungkinkan oleh banyak faktor, di antaranya karena adanya kesamaan platform di antara partai yang akan berkoalisi tersebut. Platform yang dimaksud termasuk dalam masalah agama dan ekonomi. Tapi, koalisi juga bisa dibangun atas dasar kepentingan politik murni, yakni untuk mendapatkan jabatan publik strategis dan kemudian membagi-baginya di antara sesama peserta koalisi.
Dalam hal platform ekonomi, hampir semua partai besar punya platform yang sama: dalam retorika menekankan ekonomi kerakyatan, tapi dalam praktek melaksanakan kebijakan-kebijakan ekonomi pasar. Karena itu, platform ekonomi belum menjadi faktor yang menentukan kenapa dua partai atau lebih membangun sebuah koalisi, sementara partai lainnya tidak bergabung dengan koalisi tersebut.
Dalam hal platform keagamaan, ada partai yang menekankan mendesaknya keterlibatan negara dalam menegakkan syariat Islam bagi kehidupan publik, seperti PBB, PKS, dan PPP, dan ada pula yang tidak demikian, seperti PDIP, Partai Golkar, PKB, dan PAN. Untuk sederhananya, kelompok yang pertama adalah partai Islam, sementara kelompok kedua adalah partai sekuler. Dalam dikotomi partai Islam dan partai sekuler ini, PKB dan PAN berada pada posisi yang agak kelabu. Walapun tidak ber-platform Islam, sebagian besar elite dan pendukung partai ini secara historis terkait dengan organisasi Islam. Karena itu, secara kasar keduanya kadang-kadang dimasukkan ke kategori partai Islam.
Kalau kesamaan platform keagamaan yang jadi dasar untuk koalisi, berarti koalisi yang mungkin adalah antara PPP, PBB, dan PKS, atau ditambah PAN dan PKB di satu sisi, dan di sisi lain PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Dalam politik Indonesia pasca-Soeharto, koalisi yang pertama—dikenal dengan nama Poros Tengah—pernah terjadi dan sukses dalam pemilihan presiden di MPR tahun 1999. Waktu itu Abdurrahman Wahid sebagai calon dari Poros Tengah menang mengalahkan Megawati. Kalau benar koalisi itu didasarkan atas sentimen keagamaan, mengapa koalisi tidak terjadi antara Golkar dan PDIP, yang sama-sama sekuler dan terancam oleh kekuatan Islam?
Orang yang biasa melihat politik Indonesia dari kacamata Islam versus nasionalis-sekuler biasanya melakukan definisi ulang terhadap Golkar ketika dihadapkan dengan masalah tersebut: Golkar pasca-Soeharto adalah Golkar yang didominasi anak-anak santri, terutama yang berlatar belakang HMI. Dalam banyak hal, Golkar dan PAN tidak banyak berbeda. Karena itu, wakil-wakil Golkar di MPR tahun 1999 cenderung mendukung calon presiden dari Poros Tengah ketika dihadapkan pada pilihan antara Megawati yang nasionalis-sekuler dan Gus Dur yang berlatar belakang santri. Kalau memang faktor sentimen keislaman yang paling menentukan dalam koalisi ini, kemungkinan pola yang sama, yakni Poros Tengah plus Golkar, akan kembali terulang, karena sentimen keagamaan elite partai-partai itu sekarang pun kurang-lebih sama. Tapi kemungkinan lain juga harus dipertimbangkan.
Kalau mengikuti penjelasan para aktor utama Poros Tengah kenapa Poros Tengah terbentuk, sebagian terletak pada persepsi bahwa ketegangan antara Golkar yang terkait dengan Orde Baru dan PDIP yang menjadi "korban"-nya sangat kuat. Konflik antara keduanya, termasuk di antara massa pendukung mereka, diperkirakan akan terjadi dan akan mengancam keutuhan politik Indonesia bila keduanya harus bersaing langsung untuk posisi RI-1. Poros Tengah lahir sebagai alternatif yang dipercaya mampu memediasi kemungkinan konflik tersebut. Sementara itu, Golkar baru saja kehilangan calon presidennya ketika Habibie sebagai calon presiden Golkar gagal mempertanggungjawabkan pemerintahannya kepada MPR.
Setelah Habibie gagal, Golkar berada dalam posisi yang sulit, dan bila Akbar Tandjung yang ketua umum mencalonkan diri, kemungkinan Golkar terpecah karena mendapat perlawanan dari para loyalis Habibie. Di samping itu, kekuatan Golkar saja tidak cukup untuk memenangkan calonnya bila tidak didukung partai lain yang telah membentuk Poros Tengah itu. Dalam situasi seperti ini, suara Golkar jadi liar dan kemudian menjadi sasaran lobi politikus Poros Tengah. Sementara itu, elite PDIP tidak banyak melakukan langkah-langkah yang sama.
Faktor Abdurrahman Wahid juga menentukan. Pilihan Poros Tengah terhadap Gus Dur adalah pilihan yang sangat strategis: Gus Dur adalah figur yang relatif dekat dengan Megawati sehingga keduanya diharapkan mampu meredam kemungkinan gejolak pasca-pemilihan. Ia adalah orang yang sangat berpengaruh di NU, sementara massa NU dan elitenya tidak hanya berada di PKB, tapi juga di partai lain seperti PPP dan Golkar. Waktu itu, Gus Dur adalah figur yang dapat diterima oleh hampir semua komponen bangsa, termasuk yang non-muslim. Ia punya reputasi yang sangat menekankan kebangsaan ketimbangan kepentingan sempit Islam politik. Sementara itu, bagi politikus di MPR yang masih punya sentimen kuat dengan politik Islam seperti politikus PBB, PK, dan PPP, Gus Dur, bagaimanapun, punya kekuatan simbolik Islam lebih kuat ketimbang Megawati.
Amien Rais juga faktor krusial. Dengan perolehan partainya yang hanya 7 persen, Amien melupakan keinginannya menjadi presiden sehingga ia berada pada posisi yang lebih mudah untuk membangun koalisi karena tak punya kepentingan langsung dengan jabatan presiden tersebut. Dengan sendirinya, ide Poros Tengah yang dibawanya mudah diterima Gus Dur. Jadi, banyak faktor yang kondusif bagi sukses Poros Tengah mengalahkan PDIP, yang pasif dalam membangun koalisi ketika itu. Faktor-faktor kondusif bagi Poros Tengah itu sekarang tidak ada lagi. Gus Dur, misalnya, sekarang lebih melekat dengan kegagalannya menjadi presiden. Bagi para pendukung setia Gus Dur, Amien dipandang sebagai salah satu figur yang paling bertanggung jawab atas jatuhnya Gus Dur dari kursi RI-1. Karena itu, ia kemungkinan besar masih kurang bisa diterima oleh PKB, yang merupakan komponen penting dalam Poros Tengah 1999. Lebih dari itu, Amien sekarang sudah mematok untuk jabatan presiden.
Posisi Golkar sekarang juga sangat berbeda dengan posisinya tahun 1999. Kinerja partai dan politikus Golkar ternyata tidak lebih buruk dari partai dan politikus lain. Walaupun sisa-sisa ketegangan antara Golkar dan PDIP masih terlihat, setidaknya di tingkat massa, seperti dalam kasus Buleleng, kedua partai ini sekarang relatif sudah bisa berkomunikasi. Taufiq Kiemas sebagai elite utama PDIP sudah mulai biasa berkomunikasi dengan elite Golkar, dan membuka jalan bagi kemungkinan koalisi di antara keduanya. Dengan perubahan peta politik seperti ini, ketika komponen-komponen Poros Tengah sudah cerai-berai, koalisi yang mungkin adalah antara Golkar dan PDIP. Koalisi dua partai ini kemungkinan akan mendapatkan suara mayoritas mutlak. Meski demikian, untuk meningkatkan tingkat kepastian memperoleh suara mayoritas mutlak, partai yang punya dukungan suara cukup besar bisa menjadi unsur ketiga dalam koalisi tersebut. Partai ketiga ini haruslah yang tidak punya tokoh menonjol dan berniat kuat untuk menjadi calon presiden. Jadi, bukan PAN ataupun PKB, karena kedua partai ini masing-masing punya tokoh besar yang sama-sama ingin menduduki RI-1.
Unsur ketiga yang lebih mungkin masuk ke koalisi ini adalah PPP. Partai ini punya pendukung cukup besar, dan Hamzah sebagai tokohnya terbukti cukup low profile dibanding Gus Dur atau Amien Rais. Hamzah kemungkinan lebih bisa menerima posisi sebagai wakil presiden seperti sekarang, atau menjadi salah satu menteri utama, atau menjadi Ketua DPR. Di samping itu, masuknya PPP ke dalam koalisi ini akan memperkukuh pemerintahan, karena menutup lubang yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok Islam untuk mendelegitimasi pemerintahan koalisi dengan slogan keagamaan.
Bila koalisi ini tidak terjadi, salah satu calon presiden dari partai lain seperti Amien, Gus Dur, Susilo B. Yudhoyono, dan lain-lain punya peluang masuk di urutan kedua setelah Megawati, dan terbuka pula peluangnya untuk mengalahkan calon dari PDIP, Golkar, ataupun PPP dalam putaran kedua. Jadi, tingkat ketidakpastian politik bagi ketiga partai ini menjadi lebih besar.
Masalahnya, Golkar mendapat posisi apa dalam koalisi ini bila Megawati sebagai presidennya? Apa yang menentukan pembagian kekuasaan ini? Kriteria yang cukup obyektif adalah perolehan suara anggota koalisi ini dalam pemilu legislatif. Pemenang urutan pertama punya hak untuk jabatan RI-1, pemenang urutan kedua untuk jabatan wakil presiden, dan seterusnya. Masalahnya, apakah PDIP bisa menerima kalau ternyata Megawati hanya bisa ditempatkan di posisi wakil presiden, misalnya, sesuai dengan hasil pemilu legislatif tersebut?
Kalau mengikuti berbagai survei nasional setahun terakhir, peluang Golkar untuk menang memperolah urutan pertama pemilu legislatif sangat besar. Dukungan besar terhadap Golkar ini merupakan sumber penting untuk kampanye lebih lanjut bagi calon presiden dari Golkar sendiri. Kalau PDIP tak bisa menerima kemungkinan ini, masuk akal kalau Golkar menjajaki koalisi dengan partai-partai lain. Calon presiden dari koalisi Golkar dan PPP, misalnya, versus Megawati, versus Amien, atau versus Gus Dur, kemungkinan mendapatkan suara paling banyak karena koalisi antara PDIP, PKB, dan PAN untuk jabatan presiden kecil kemungkinannya. Pola koalisi untuk jabatan presiden, wakil presiden, Ketua DPR, dan anggota kabinet mayoritas harus dibuat sebelum pemilu DPR supaya ada waktu yang cukup untuk sosialisasi, dan untuk menumbuhkan efikasi politik dalam masyarakat luas bahwa koalisi ini kuat dan akan menang dalam pemilihan umum sehingga pemilih menjadi tertarik mendukungnya. Umumnya, pemilih cenderung akan mendukung calon atau partai yang punya citra sebagai partai atau calon yang akan menang dalam pemilu.

Advertisement

Advertisement

Free Website Hosting