Kamis, 23 April 2009

ANTARA ANGGARAN, ESENSI PENDIDIKAN DAN UJIAN NASIONAL


UN tahun ini begitu banyak menelan biaya, berdasarkan laporan depdiknas disebutkan bahwa Negara harus mengeluarkan Rp 376 milyar untuk penyelenggaran UN dan UASBN 2009. Angka itu belum ditambah dengan Ujian Paket A, B, dan C yang menghabiskan Rp 196 milyar.Sehingga total anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan Ujian skala Nasional adalah 572 miliar rupiah (setengah triliun).
Adapun rinciannya (Kepala Balitbang Depdiknas) adalah sebagai berikut:- UASBN SD = Rp 56 milyar.- UN SMP/MTS/SMPLB = Rp 200 milyar.- UN SMA/MA/SMK = Rp120 milyar.- Ujian Paket A,B, dan C = Rp 196 milyar.


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pasal 68, pelaksanaan ujian nasional bermaksud agar hasil UN dijadikan: 1. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;2. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;3. Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan;4. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Sebenarnya pelaksanaan UN tidaklah jauh berbeda dengan pelaksanaan Ebtanas di era 90-an. Penyelenggaran UN yang diharapkan dapat meningkatkan mutu dan standar pendidikan Indonesia hingga saat ini masih dalam ‘merangkak’ bahkan dalam beberapa kasus mengalami kemunduran.
Sejak diberlakunya UU 23 tahun 2003, dan merujuk pada PP 19 tahun 2005, maka standar kelulusan (SKL) siswa pada UAN/UN dinaikkan secara bertahap, yakniUAN 2003 : SKL >3.00UAN 2004 : SKL >4.00UAN 2005 : SKL >4.25UAN 2006 : SKL >4.50UAN 2007 : SKL >5.00UN 2008 : SKL >5.25UN 2009 : SKL >5.50
Meskipun standar kelulusan terus ditingkatkan, namun ternyata tingkat kelulusan juga tinggi [dan dalam beberapa tempat semakin tinggi]. Lalu, apakah dengan angka SKL dan kelulusan meningkat telah menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia telah meningkat???Dapatkah sistem Ujian Nasional menjadi prestasi pemerintah [terutama SBY] dalam meningkat kualitas pendidikan dengan mengeluarkan ratusan miliaran rupiah???

Yang pasti, siswa-siswi Indonesia akan merasa beban materi dan psikis terus bertambah. Dikala 2003-2006, jumlah mata pelajaran di uji 3 (Indonesia, Matematika, Inggris), saat ini telah ditambah lagi dengan materi-materi IPA atau IPS. Salah satu fenomena yang terjadi [fenomena 1] adalah siswa tertekan secara psikologis supaya lulus lalu ia bersemangat untuk belajar sungguh-sungguh untuk lulus.
Namun, karena sistem pendidikan di sekolah yang masih amburadul, maka fenomena yang terjadi sesungguhnya [fenomena 2] adalah secara langsung mendidik sikap mental siswa untuk mencapai sesuatu secara instan. Sehingga baik siswa maupun tenaga pendidik cenderung terbentuk watak ‘manusia instan’. Yang paling parah adalah banyak tenaga pendidik di sekolah-sekolah merasa bahwa mereka mendidik siswa-siswi hanya untuk meluluskan siswanya dari UN. Proses panjang dalam belajar-mengajar selama 3 atau 6 tahun, hanya ditentukan 3-6 hari Ujian.
Hal ini semakin jauh dari esensi pendidikan yakni mendidik. Sekolah dan tenaga pendidik semulanya berperan besar pada mendidik siswa dalam pengetahuan, etika dan moral, kini cenderung mengajar bagaimana lulus UN. [Mendidik/educate dan Mengajar/teach adalah dua istilah yang berbeda baik dari segi makna maupun falsafah]. Hal ini pun dimanfaatkan bermacam-macam lembaga pendidikan, baik diluar sekolah maupun di internal sekolah [menjadi alasan sekolah menarik iuran dari orang tua].
Dalam banyak kasus, siswa-siswi ‘memaksa’ orangtuanya agar mereka dimasukkan ke lembaga bimbingan belajar agar mereka lulus. Tidak tanggung-tanggung, orang tua harus rela mengeluarkan 1,5-3,0 juta untuk mendaftarkan anaknya ke bimbingan belajar. Hal ini tentu saja dimanfaatkan dengan baik oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar. Bayangkan saja, beberapa lembaga Bimbel ber-omzet hingga 200 miliar per tahun dengan merekrut 100.000 siswa SD, SMP, SMA per tahun. Promosi lembaga bimbel menjadi lebih ‘kincrong’ tatkala ditakuti dengan SKL.
Disisi lain, yakni pihak sekolahpun tidak jauh berbeda. Banyak sekolah yang membocorkan ataupun memberikan kunci jawaban kepada siswa-siswinya ketika UN. Para pengawas [termasuk pengamat independen] lebih banyak bungkam melihat realitas tersebut. Tidak sedikit guru bahkan kepala sekolah memberi bocoran kunci jawaban agar pamor sekolahnya bertahan ataupun naik jika semua siswanya lulus atau bahkan lulus dengan nilai tinggi.
Fenomena kelulusan menjadi diskriminasi besar baik bagi sekolah maupun siswa antara kota dan desa. Sekolah-sekolah di kota cenderung memiliki fasilitas dan tenaga pendidik yang bagus-bagus. Hal ini berbeda dengan kondisi di daerah atau pedesaan. Tenaga pendidik yang terbatas dan ditambah fasilitas yang seadanya. Dengan logika sederhana:
Input A [siswa] –> Proses Plus [gedung +, buku+, pendidik+] –> Output A???Input B [siswa] –> Proses Min. [gedung -, buku-, pendidik-] –> Output B???Jika input memiliki kualitas sama [Input A=Input B], apakah output antara A dan B akan sama????(tentu tidak)

Sudah hampir 5 tahun UAN/UN berjalan, namun yang paling mendasar belum tersentuh oleh pemerintah. Pemerintah lebih senang melihat angka-angka di SKL yang terus naik, tapi lupa bahwa ada satu PR terbesar yang belum benar-benar tergarap.
Solusi mendasar bagi pemerintah yakni perbaikin dulu sistem ‘hulu pendidikan’, baru secara beriring masuk pada ‘hili r pendidikan’ yakni ujian nasioal yang bersih dan terarah [persiapan dan proses yang lebih merata]Karena selama ini pemerintah masih sangat kurang memperhatikan peningkatan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap secara merata di seluruh pelosok negeri.
Dengan anggaran pendidikan yang mencapai 20% (lebih 200 triliun) pada APBN 2009, seharusnya pemerintah secara efektif mengalokasikan anggaran pada hal-hal fundamental dalam dunia pendidikan seperti perbaikan bangunan sekolah dan pembina kualitas guru yang merata seluruh Indonesia. [sehingga fair jika SKL UN berlaku umum].Bangunan-bangunan sekolah terutama di daerah terpencil dan daerah sebenarnya tidak layak dipakai sebagai wadah proses belajar-mengajar.

Demi meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih baik, seharusnya pemerintah saat ini memiliki program dan kebijakan yang “Jelas, Terarah, Mendasar, dan Transparan”. Dengan anggaran yang besar, sangat mungkin sekali terjadi korupsi [beberapa tahun silam Depag dan Depdiknas selalu memegang rekor departemen terkorup]. Untuk itu,pemeritah dan DPR perlu menciptakan suatu institusi yang dapat mengawasi penggunaan alokasi anggara terbesar ini. Karena UN sudah menjadi agenda tahunan, maka semua komponen masyarakat harus berani jujur mengoreksi pelaksanaan UN. Anggaran 572 miliar harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabilitas. Tidak terkecuali sekolah yang berlangganan dengan kunci soal. Biarlah apa adanya, jangan pihak sekolah mengajarkan hal-hal negatif.
** Dalam pers Depdiknas, disebut juga bahwa nilai UN akan menjadi patokan dasar seleksi perguruan tinggi. Hal ini masih sangat prematur jika diterapakkan pada saat ini.

Jumat, 17 April 2009

PEMILU 2009 ; BENTUK KEBOBROKAN BANGSA


Pemilu 2009 ini adalah terburuk sepanjang sejarah Indonesia, dan akan melahirkan ‘political damage’ (kehancuran politik) bagi Indonesia. Pemilu 2009 ini tidak akan memberikan legitimasi politik yang kuat, karena sistemnya yang amburadul, mulai dari DPT (daftar pemilih tetap),yang tidak akurat, banyaknya kecurangan, dan tingginya angka Golput, yang mencapai lebih 45 persen dari jumlah pemilih. Sehingga, nyaris hasil pemilu 2009, tidak memberikan arti apa-apa bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
Sekarang para tokoh politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pimpinan partai ramai-ramai menggugat hasil pemilu 2009. Ada sekitar 15 tokoh partai dan LSM, dan sudah lebih 10 partai politik, yang menginginkan pemilu di ulang. Diantara tokoh politik, yang berkumpul di rumah Mega, antara lain, Prabowo (Partai Gerindra), Gus Dur (Ketua Dewan Syuro PKB), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Bursah Syarnubi (PBR), Idham Cholid (PKNU), Syahrir MS (Republikan), Zulvan Lindan (PNBKI), Rusdi Hanafi (PPP), Rizal Ramli (KBI), Amelia Yani (PPRN), Misbach Hidayat (PKB), dan tuan rumah Megawati.
Pertemuan yang berlangsung di rumah Ketua Umum PDIP itu, membahas dan mengavaluasi hasil-hasil pemilu 2009, yang menurut mereka dipenuhi dengan kecurangan.
Pertama, pemilu 9 April yang lalu adalah pemilu terburuk , karena banyaknya rakyat tidak bisa melaksanakan hak pilihnya yang dilindungi UU, karena tidak masuk dalam DPT, sehingga hal itu melanggar hak asasi manusia. Kedua, pemilu 9 April yang lalu, diwarnai banyak kecurangan dan kesalahan administrasi. Hal itu diperparah dengan sikap KPU dan KPUD yang tidak netral , karena membela kepentingan politik tertentu. Ketiga, mendesak KPU, Banwaslu, dan pemerintah untuk menindak lanjuti semua laporan kecurangan pemilu dan menegakkan hukum terhadap pelanggaran/kecurangan yang terjadi.

Setidaknya, ada 15 parpol yang menyatkan keberatan terhadap hasil pemilu 2009, dan menyatakan adanya kecurangan. 15 parpol itu (PDIP, Golkar, Gerindra, PKNU, PPRN, Barnas, Merdeka, PIS, PBB, Patriot, PPNUI, Hanura, PDS, PKDI dan Buruh). Apakah gerakan ini akan sampai membuat hasil pemilu itu, mereka tolak, dan meminta diulang? Padahal, pemilu 2009 ini, biayanya dari APBN, yang jumlah sangatlah fantastis, yang mencapai 21.7 trilyun rupiah. Belum lagi, ‘ongkos’ dari para peserta pemilu, partai-partai politik, dan perorangan yang terdiri dari para caleg, menurut penghitungan hampir mencapai 200 trilyun.
Pemilu 2009 ini, bukan hanya akan menimbulkan ‘political damage’, kalau partai—partai yang merasa tidak puas dengan hasil pemilu, dan tidak terselesaikan dan mereka membuat gerakan, maka inilah yang menyuramkan masa depan. Sehingga, pemilu yang merupakan produk demokrasi ini, yang harganya ‘cost’ sangat mahal, justru tidak melahirkan sebuah harapan bagi perbaikan kehidupan rakyat, tapi justru mengakibatkan ‘damage’ yang dahsyat di masa depan. Yaitu, terjadinya potensi konflik dan ‘social disorder’, serta mengundang kerawanan dan instabilitas.
Belum lagi, ekses psychologis dari pemilu 2009, banyak caleg yang gagal mengalami ‘gangguan jiwa’ alias mengalami ‘mental disorder’, karena mereka kehilangan harta, harapan, dan harus menanggung malu, karena gagal terpilih menjadi anggota legislative. Bahkan, yang menyedihkan ada diantara caleg itu, yang melakukan bunuh diri, karena gagal terpilih.
Sebauh ‘pesta’ yang tidak berakhir dengan ‘happy ending’, itulah yang namanya pesta demokrasi. Semuanya, menyisakan kesedihan, keterpurukan, dan bahkan kehilangan harapan masa depan. Melebihi bencana ‘tsunami’ yang terjadi di Aceh.

Jumat, 03 April 2009

JAKARTA GELAP

JAKARTA - Pada 28 Maret 2009 DKI Jakarta akan turut serta untuk mematikan lampu selama satu jam. Terhitung mulai dari jam 20.30-21.30.
Program Ini diikuti oleh ribuan kota di dunia sebagai bentuk perwujudan aksi pelestarian lingkungan dan penghematan energi. Bagaimana tidak, riset menyatakan hanya dengan mematikan listrik di Jakarta selama 1 jam saja bisa menghemat dan menyuplai daya listrik bagi sekitar 800-900 desa di seluruh Nusantara. Bagaimana jika di seluruh kota di Indonesia? Ini membuktikan bahwa konsumsi listrik warga DKI Jakarta ataupun kota lain masih terlalu over, sebut saja kafe-kafe, club malam, stasiun televisi, perusahaan, bahkan toko-toko kecil yang buka 24 jam di Jakarta sangat memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kelangkaan energi.

Namun bagi sebagian warga dan perusahaan aksi mematikan lampu ini membuat cemas, karena bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan aksi kejahatan.Oleh karena itu--demi menjaga kelestarian lingkungan--bersama seluruh warga DKI Jakarta, jaga rumahmu dan "Matikan Lampumu".....KLIK.
by : idham mudhari

Advertisement

Advertisement

Free Website Hosting